Newsroom    3 Juni 2023

Krisis Iklim tak Dapat Disangkal Lagi, Koalisi Masyarakat Sipil Desak Hadirnya UU Perubahan Iklim

Pekanbaru, GREEN-Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Iklim mendesak pemerintah segera menerbitkan undang-undang yang mengelola segala hal terkait perubahan iklim. Peraturan itu menangani soal iklim berbasis hak dan distribusi beban yang adil.

Koalisi mengungkapkan, dalam 10 tahun terakhir (2013-2022), Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) merekam terjadinya peningkatan bencana terkait cuaca dan iklim sebanyak 28.471 kejadian. Itu mengakibatkan 38.533.892 orang menderita, 3,5 juta lebih mengungsi. Dari jumlah itu, lebih dari 12 ribu orang terluka, hilang dan meninggal 
dunia. 

Risiko dan ancaman dampak perubahan iklim akan semakin parah pula melihat kenaikan suhu bumi telah mencapai 1,1°C sebagaimana dilaporkan dalam laporan sintesa Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) 2023. Tidak hanya itu, komitmen dan rencana penurunan emisi di tingkat global pun saat ini diproyeksikan belum mampu menahan kenaikan suhu bumi yang segera mencapai 1,5°C. 

Di tengah ancaman sekaligus dampak krisis iklim yang semakin parah, Pemerintah Indonesia belum merespon krisis iklim dengan serius. Di level kebijakan, instrumen hukum yang ditujukan untuk menangani krisis iklim seperti Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca dalam Pembangunan Nasional (Perpres 98/2021) memiliki beragam tantangan dalam implementasinya. Tantangan itu karena adanya benturan dari undang-undang sektoral. 

Beragam undang-undang sektoral memiliki ketentuan yang cenderung kontradiktif dengan semangat keadilan iklim, meskipun Indonesia telah meratifikasi Kesepakatan Paris (Paris Agreement). Kesepakatan Paris bertujuan untuk menghentikan suhu pemanasan bumi agar tidak lebih dari dua derajat Celcius. Untuk itu, setiap negara perlu memasukkan komitmen mengenai berapa banyak emisi karbondioksida yang akan dikurangi.

Penyampaian desakan dan usulan tersebut dilakukan di Jakarta, Sabtu, 3 Juni 2023, oleh Walhi Nasional, ICEL dan Yayasan Pikul. 

Belum Sasar

Berikutnya, Koalisi menilai instrumen hukum yang tersedia saat ini masih belum menyasar kebutuhan penurunan emisi secara signifikan serta peningkatan daya adaptif masyarakat. “Perpres 98/2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon yang diikuti dengan berbagai pembentukan peraturan baik lewat kementerian maupun lembaga saat ini hanya fokus pada mekansime perdagangan karbon. Padahal, kita membutuhkan regulasi yang fokus terhadap penanganan krisis iklim, serta penciptaan keadilan dalam penanganan krisis,” ujar Pantoro Kuswardono, Direktur Eksekutif Yayasan Pikul, anggota Koalisi. 

Direktur Eksekutif Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) yang juga bergabung dalam Koalisi, Raynaldo G Sembiring, menyambung pernyataan tersebut: “Dengan natur isu krisis iklim yang multisegi dan multiaktor, UU Keadilan Iklim menjadi urgen untuk disusun. UU Keadilan Iklim harus menjadi frame work (kerangka hukum, red) yang memuat ketentuan pokok sebagai payung bagi pelaksanaan seluruh kebijakan iklim."

Dikatakannya lagi, prinsip-prinsip keadilan iklim harus menjadi landasan bagi seluruh pemangku kepentingan. Oleh karena itu, UU Keadilan Iklim sebaiknya juga menjadi suatu bentuk aturan yang terintegrasi dan disusun dalam satu kesatuan dengan memuat peta jalan dan target yang terukur. 

Sementara, Zenzi Suhadi, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Nasional, mengungkapkan, sebenarnya kita sudah punya yang terkait, yakni UU tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Namun, UU itu sifatnya administratif, lebih banyak mengatur tentang penerbitan izin-izin.

Posisi Kuat

Selanjutnya Zenzi menyampaikan, Indonesia adalah pemilik biodiversitas terbesar di dunia, juga menjadi wilayah ring of fire (cincin api Pasifik, red), tiga besar pemilik hutan tropis di dunia, juga memiliki luas mangrove yang signifikan pula. "Dengan itu, seharusnya Indonesia bisa mengambil sikap dan posisi yang kuat. Bukan hanya mengikut skenario negara produsen, tanpa pertimbangan karbon yang dihasilkannya," katanya.

Karena itu, katanya, keputusan Indonesia untuk ikut perdagangan karbon merugikan, baik untuk individual-individual di masyarakat maupun sebagai bangsa. Alasannya, proses dan aktivitas dalam ekonomi yang membuat munculnya masalah lingkungan ini disetir oleh negara-negara produsen, sehingga merekalah yang seharusnya benar-benar bertanggung jawab dan memperbaiki kondisi ke keadaan sebelum terjadinya masalah. 

Zenzi juga menuturkan, UU yang dimaksudkan ini nantinya mesti dapat mengurai dan mengatasi penyebab perubahan iklim. "Mengapa demikian, karena permasalahan saat ini disebabkan deforestasi dan perampasan keadilan itu sendiri."

Ditekankannya pula, perlindungan yang dimuat dalam UU nantinya seharusnya tidak hanya pada biodiversitas, tapi juga pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat yang selama ini melakukan perlindungan hutan-hutan dan lingkungannya. "Harus ada rules of the game (peraturan permainan, red) dalam perubahan iklim yang diterapkan dalam dunia ekonomi secara global, karena ekonomi dunia salah satunya sangat tergantung pada Indonesia melalui bahan baku yang dihasilkannya," ungkapnya lagi.

Koalisi tak lupa mengingatkan, UU dimaksud nantinya harus bersifat holistik, yang terdiri dari dua bagian besar. Bagian pertama memuat prinsip-prinsip keadilan iklim, peta jalan dan panduan pelaksanaannya. Bagian kedua berisi materi-materi pelaksanaan yang integratif, setidaknya terdiri dari mitigasi perubahan iklim, adaptasi perubahan iklim, loss and damage (kehilangan dan kerusakan, red), tata kelola perubahan iklim termasuk sistem dan kelembagaan, penegakan hukum, pembiayaan iklim, hingga mosi publik. Prinsip-prinsip keadilan iklim juga harus dipastikan terintegrasi dalam materi muatan yang terdapat di regulasi itu. (din)

Teks foto: Suasana kemacetan di Pekanbaru, belum lama ini. Kepadatan kendaraan di jalan raya sudah menyeluruh terjadi di kota-kota. Dampak pembuangan emisi dari bahan bakarnya sudah kita rasakan menjadi krisis iklim, setidaknya dengan kondisi iklim yang sudah berubah dan berpengaruh dalam aktivitas kehidupan sehari-hari. (FOTO: Green/Dina)
 

Maton house blok D nomor 7 Jl Bakti VI, Kelurahan Tengkerang Barat
Phone: 082269559867
Copyright @2024. Green Radio Line