Di tengah polemik dukungan perubahan iklim dari negara-negara maju di belahan utara, China dapat menjadi alternatif untuk memberikan kontribusi yang signifikan bagi aksi mitigasi krisis iklim di Indonesia. Hal tersebut dibahas pada Webinar" Mendorong Kolaborasi Selatan-Selatan dalam Aksi Iklim: Menjajaki Kemitraan China dan Indonesia,” yang berlangsung, Kamis,(08/06/2025)
“Berefleksi pada keberhasilan China untuk melampaui target pengembangan 1200 GW energi terbarukan, komitmen yang ambisius untuk mengembangkan energi terbarukan menjadi krusial untuk memberikan sinyal bagi pengembangan industri dan pendanaan iklim bagi Indonesia. Oleh karena itu, NDC Kedua Indonesia perlu menargetkan setidaknya 40 GW kapasitas energi terbarukan pada tahun 2030,” ujar Saffanah R Azzahrah, peneliti Indonesian Center for Environmental Law (ICEL).
Saffanah menyebutkan, "Indonesia menjadi negara penerima pembiayaan terbesar di kawasan Asia Tenggara dalam inisiatif BRI. Secara keseluruhan, total pembiayaan China untuk Indonesia diperkirakan berada dalam kisaran USD 2,1 miliar hingga USD 9,3 miliar per tahun. Berdasarkan data historis tersebut diproyeksikan selama periode 2024–2030, jumlah ini dapat mencapai total antara USD 14,7 miliar hingga USD 65,1 miliar",ujar Syafa dalam materi webinar.
Ia menambahkan,"Dalam percepatan transisi energi, salah satu tantangan terbesar adalah pendanaan. Untuk mencapai target energi terbarukan (RE) 2030, pemerintah perlu menyediakan dana sekitar USD 146 miliar per tahun, sepanjang 2025 hingga 2030. Sementara ketersediaan investasi untuk RE pada 2023 hanya mencapai USD 1,5 miliar. Secara historis, pembiayaan China untuk sektor energi di Indonesia diperkirakan berada dalam kisaran USD 490 juta hingga USD 900 juta per tahun. Selama periode 2024–2030, diproyeksikan jumlah ini dapat mencapai total antara USD 3,4 miliar hingga USD 6,3 miliar.
Selain itu Tata Mustasya, Direktur Eksekutif dari Yayasan Kesejahteraan Berkelanjutan Indonesia (SUSTAIN) mengatakan,“Mengacu pada kebutuhan pembiayaan transisi energi Indonesia dalam Just Energy Transition Partnership (JETP) Indonesia sebagai acuan, investasi China di Indonesia dapat menutupi porsi yang signifikan dari pembiayaan energi terbarukan, baik untuk energi terbarukan variabel maupun yang dapat dikendalikan (dispatchable). Hal ini berpotensi mencakup sebagian besar kebutuhan pembiayaan energi terbarukan Indonesia, yang sejalan dengan tujuan JETP,”
Sementara itu, di luar kerjasama bilateral untuk perubahan iklim, kolaborasi Indonesia-Cina juga dapat diperkuat untuk memastikan bahwa investasi dan pendanaan iklim Cina di Indonesia sejalan dengan target iklim. Di sektor kehutanan dan lahan, investasi China harus menaati regulasi-regulasi nasional dan daerah soal tata kelola hutan dan lahan. “Praktek-praktek industri kehutanan yang masih belum memenuhi prinsip-prinsip keberlanjutan harus segera ditransformasi dan diubah ke arah yang lebih ramah lingkungan dan ramah masyarakat. Salah satu yang dapat dilakukan, diantaranya dengan menghadirkan kebijakan investasi hijau untuk setiap tingkatan pelaku, dan sistem pendukung industri kehutanan termasuk perbankan. Industri kehutanan telah menyumbang pada persoalan lingkungan dan sosial yang cukup signifikan bagi Indonesia, selain perlunya dukungan pembiayaan untuk pemulihan kerusakan, perbaikan kebijakan dibutuhkan untuk memberikan perubahan yang lebih berdampak,” kata Woro Supartinah, Direktur Lembaga Pemberdayaan Ekonomi dan Sosial Masyarakat (LPESM) Ria