Newsroom    28 Mei 2024

IPC dan Fitra Riau Bahas RUU EBT dalam Forum Multipihak Lanjutan

Indonesian Parliamentary Central (IPC) menyerahkan dua kajian terkait transisi energi pada dua anggota legislatif terpilih di Pemilu, Februari lalu. Yakni Karmila Sari anggota DPR RI 2024-2029 dan Arif Eka Saputra anggota DPD periode sama. Adapun dokumen yang dimaksud: pendanaan Just Energy Transition Partnership (JETP) untuk mencapai transisi energi berkeadilan, serta analisis dokumen kebijakan energi peran dan tantangan DPR dalam mengawasi transisi energi di Indonesia.

Dokumen pertama memuat isu dan permasalahan JETP di Indonesia. Antara lain, kebutuhan payung hukum; sejalan dengan perjanjian Paris; mekanisme dan bentuk pendanaan serta antisipasi energi fosil dalam JETP.Dokumen berikutnya mengulas tentang, partisipasi masyarakat dalam perumusan kebijakan energi masih sebatas formalitas dan ketidakselarasan target antara Kebijakan Energi Nasional (KEN), Rencana Umum Engeri Nasional (RUEN), Rencana Umum Energi Daerah (RUED) dan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL).

Masih dalam dokumen kedua, masih terdapat enam provinsi belum memiliki RUED dan dokumen perencanaan tersebut belum menjadi tulung punggung provinsi untuk melakukan dekarbonisasi energi di daerah. Riau sendiri sudah memiliki Perda Nomor 2/2022 tentang RUED. Saat ini, DPR RI tak kunjung mengesahkan Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Terbarukan (RUU EBT). Pandangan fraksi di Senayan menanggapi RUU EBT pun beragam. Empat diantaranya minta pembahasan ditunda sampai pemerintahan berikutnya. Antara lain, Golkar; Gerindra; PAN dan Demokrat. Ada pun PDIP dan Nasdem setuju untuk segera disahkan. Sedangkan dua fraksi setuju dengan catatan. PKB dengan catatan kelembagaan energi terbarukan dan PKS dengan catatan power wheeling tidak dimuat dalam RUU. Hanya Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang tidak memiliki sikap dalam RUU EBT. Hasil Pemilu Februari lalu, partai berlambang ka’bah ini justru tidak lolos ke Senayan karena jauh dari ambang batas suara sah 4 persen. Meski begitu, partai yang lahir sejak orde baru ini berupaya menggugat selisih suara di Mahkamah Konstitusi.

“Kalau belum ada langkah konkrit untuk mengembangkan atau paling tidak menciptakan policy (kebijakan) energi terbarukan, khusus terkait mitigasi perubahan iklim, lambat laun kondisi emisi sektor energi akan meningkat empat kali lipat dan suhu bumi akan naik,” kata Arif Adiputro dari IPC. Padahal, lanjut Arif, Indonesia punya komitmen supaya batas emisi global 1,5 derajat celcius jangan sampai terlewat. Sebab, hal itu akan jadi berbahaya bagi kondisi bumi di masa mendatang.

Karmila Sari menyeru harus ada komunikasi antar anggota DPR dan DPD terpilih dari Riau untuk menyuarakan isu transisi energi di parlemen, nantinya. Mereka berjumlah 17 orang. Sebanyak 13 diantaranya adalah anggota DPR RI terpilih.“Hal baik harus didukung. Siap mengawali. Paling penting adalah eksekusi dan pengawasan paska RUU EBT ketok palu (disahkan),” janji Karmila, meski nanti dia tidak ditempatkan di komisi VII. Lanjut dia, upaya tersebut bisa didorong lewat rekan-rekan di komisi tersebut. Saat ini, dia ingin duduk di Komisi III bidang hukum, hak asasi manusia dan kemanan.

Arif Eka Saputra, senada. Dia akan bantu mengawal pengesahan RUU EBT dan meneruskan kebijakan transisi energi meski DPD hanya bisa terlibat sampai tahap satu atau pengusulan saja. Apa lagi, RUU EBT pada awalnya adalah usulan dari DPD, sebelum diambil alih oleh DPR menjadi inisiatif Komisi VII. Selain itu, Arif usul buat diskusi grup terfokus bersama seluruh anggota DPR dan DPD dari Riau yang baru terpilih. Jumlah mereka empat orang. Sebagai pendatang baru di Parlemen, mereka hendak mempelajari isi dan substansi transisi energi lebih cepat untuk kepentingan di daerah.

Pada waktu sama, Senin 27 Mei 2024, IPC difasilitasi Fitra Riau juga menginisiasi multistakholder forum: mendorong kebijakan transisi energi terbarukan dan perbaikan lingkungan hidup melalui peran strategis parlemen terpilih. Pembahasan ini direspon masyarakat sipil dengan beragam. Wakil Koordinator Jikalahari Okto Yugo Setiyo, menitip pesan soal deforestasi dalam mendorong transisi energi. Ini menyangkut upaya pemerintah memasukkan perizinan Hutan Tanaman Energi (HTE) sebagai sumber energi baru.

Provinsi Riau memang belum terdapat perizinan tersebut. Namun sejumlah daerah telah dibebani izin terkait. Artinya, hutan alam tersisa bisa ditebang untuk pemenuhan kebutuhan energi menggantikan atau untuk dicampur dengan batu bara yang selama ini menjadi sumber energi utama dan terbesar di Indonesia. “Penting mengawal perizinan HTE agar tidak lagi jadi beban tambahan, khususnya di Riau dan daerah lain. HTE masuk dalam skema PBPH. Semua izin kehutanan sektor kayu namanya sekarang PBPH,” jelas Okto.

Definisi PBPH atau perizinan berusaha pemanfaatan hutan penjelasan dapat ditemui dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23/2021 Pasal 1 ayat 47. Ini merupakan turunan dari UU Cipta Kerja. Izin terkait ini berlaku 90 tahun dan dapat diperpanjang satu periode lagi alias menjadi 180 tahun.

Komentar lain dari peserta pada umumnya seragam. Mereka menghendaki transisi energi yang bersih dan berkeadilan. Mengutamakan kepentingan masyarakat atau komunitas lokal. Mengingat, banyak potensi energi berbasis masyarakat dan berbiaya murah untuk diterapkan di daerah-daerah yang belum teraliri listrik. Seperti Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) yang pernah dibangun Kementerian ESDM di Pulau Mendol atau Kecamatan Kuala Kampar, Pelalawan. Pada tahun pertama, Listrik tenaga matahari itu mampu menerangi seluruh rumah penduduk seharian penuh.

Namun memasuk tahun kedua, kemampaun daya berkurang dan lambat laun akhirnya berhenti mengaliri listrik. Sebab, satu per satu peralatan rusak dan kelompok pengelola tidak memiliki biaya perbaikan. Ditambah lagi tidak ada tenaga lokal terampil mengatasi kerusakan. Alhasil, PLTS tinggal kenangan.*RedaksiI

Maton house blok D nomor 7 Jl Bakti VI, Kelurahan Tengkerang Barat
Phone: 082269559867
Copyright @2024. Green Radio Line