Newsroom    10 Juni 2024

Gubernur Riau Akan Datang Harus Komitmen pada Ekologi

Seringkali kebijakan pemerintah yang baik menjadi tidak berarti karena tidak dijalankan dengan sungguh-sungguh. Misal, kebijakan mengatasi permasalahan lingkungan hidup. Ada banyak faktor. Satu diantaranya penganggaran yang minim.

Setidaknya itu jadi catatan dalam diskusi singkat Pilkada Ekologis yang ditaja Green Radio Line bersama Jikalahari, Walhi Riau, Koordinator Mapala se-Indonesia dan kalangan akademisi, Rabu 5 Juni 2024.

Pada diskusi seri ketiga yang didukung Pangeran Hotel Pekanbaru, ini mestinya menghadirkan Gubernur Riau 2019-2024, Syamsuar, sebagai pembicara utama. Hanya saja, dia batal hadir karena agenda lain yang tidak bisa ditinggalkan.

Syamsuar, ketika gubernur, dinilai berpihak pada lingkungan lewat sejumlah kebijakan yang dia keluarkan. Sebut saja, Riau Hijau, yang tak asing didengar masyarakat. Ada juga, pembangunan rendah karbon hingga rencana umum energi daerah sebagai landasan peralihan energi kotor ke energi bersih.

Berbagai kebijakan itu tidak lepas dari evaluasi sejumlah kalangan. Nyatanya, menurut Wakil Koordinator Jikalahari, Okto Yugo Setiyo, kepala daerah belum mampu menjalankan kebijakan yang dia buat sendiri. Menurut Okto untuk melaksanakan program dan kebijakan, setidaknya ada dua yang harus dikuasai. Secara politik, harus mampu merangkul rekan kerja di gedung dewan. Dari sisi kewenangan, harus mampu menggerakkan bawahannya. Okto beri contoh kebijakan Perhutanan Sosial (PS). Syamsuar sangat komitmen beri hak kelola hutan secara legal pada masyarakat. Dalam Peraturan Gubernur tentang Riau Hijau telah disebutkan. Tapi dalam rencana kerja Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) komitmen itu tidak dimuat."Padahal, kepala daerah harus mampu meyakinkan banyak orang terhadap program yang akan dijalankan," tegas Okto.

 

Ahlul Fadli dari Walhi Riau, mengatakan komitmen Riau Hijau Syamsuar tidak diterjemahkan dengan baik oleh bawahannya. Contoh, Syamsuar lambat cabut izin PT Logomas Utama (LMU) yang sempat menyedot pasir laut di Pulau Rupat, Bengkalis. Ahlul mempertanyakan sikap Syamsuar. Apakah karena mental birokrasi atau ada hal janggal di balik itu? Padahal masyarakat sudah menunggu lama. "Dari situ bisa dilihat apakah dia punya sikap pada masyarakat dan lingkungan?"

Okto, juga mengingatkan pemerintah seharusnya berpihak pada masyarakat. Dalam hal pengelolaan sumber daya alam, konstitusi mengamanahkan dan menitipkan kekayaan alam pada negara untuk diatur pemerintah guna kemakmuran rakyat. Bukan diserahkan lewat pengusaha atau korporasi sehingga mendominasi penguasaan sumber daya alam tersebut."Alhasil perusahaan atau pemilik modal yang mengatur pemerintah dan masyarakat. Tujuan tata kelola sumber daya alam adalah untuk kemakmuran masyarakat dan keadilan," tegas Okto lagi.

Pada momen politik, tahun ini, Okto juga mengingatkan, masyarakat mesti paham isu ekologis yang kian nyata. Ini penting buat pertimbangkan para calon kepala daerah yang bisa menyelesaikan masalah lingkungan. Selain itu, para calon kepala daerah yang akan bertarung nanti tidak terafiliasi dengan oknum yang menyebabkan bencana ekologis tersebut.

Setali tiga uang, Peneliti Pusat Studi Bencana Universitas Riau, Arifudin, juga menekankan komitmen seorang kepala daerah untuk mengatasi persoalan ekologis. Sikap itu bisa ditunjukkan pada keseriusan dalam penganggaran di daerah. Tidak semata berharap bantuan dari pemerintah pusat.

Arif, menyoroti masalah restorasi gambut dan rehabilitasi mangrove di Riau. Mengutip laporan Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM), pemulihan dua ekosistem penyerap emisi karbon itu masih tergolong belum memuaskan. Padahal, BRGM telah mengucurkan dana tugas pembantuan. Untuk pemulihan gambut, misal, ada Rp 17 miliar yang disalurkan ke DLHK buat membasahi kembali gambut rusak."Dalam konteks restorasi gambut masih lemah. Harusnya siapapun jadi kepala daerah mesti komitmen pada ekologis. Kerusakan gambut dan mangrove di Riau sangat besar," kata Arif, mengingatkan calon gubernur yang terpilih pada Pilkada serentak, November mendatang.

Peringatan Arif, itu cukup beralasan. Mengingat, Riau masih menghadapi masalah lingkungan seperti karhutla, longsor dan banjir. Misal, tahun lalu, Jalan Lintas Timur Provinsi Riau mulai dari Kabupaten Pelalawan lumpuh total karena terendam banjir lebih satu bulan. Isu ekologis sangat dekat dengan masyarakat. Sehingga peristiwa serupa tidak berulang.

Bicara Pilkada serentak akan datang, Ahlul Fadli menilai dari banyak wajah yang 'berserakan' di ruang publik belum tampak sosok yang punya mental peduli ekologi. Atau setidaknya berpihak pada keseimbangan antara bisnis dan lingkungan. Dasar penilainnya melihat latar belakang orang-orang yang diperkirakan akan bertarung merebut kursi nomor satu di Riau.

Ahlul juga berpesan, pemerintah mesti beri ruang keadilan dan kesejahteraan pada masyarakat. Mengoreksi banyak izin yang telah diberikan pada perusahaan. Menetapkan wilayah kelola masyarakat yang tidak boleh diganggu. Dengan kata lain, tidak ada lagi perampasan hak-hak masyarakat. Pesan-pesan ekologis ini harus sampai pada masyarakat pinggiran atau yang jauh dari akses informasi.

Melengkapi pesan tersebut, Koordinator Mapala se-Indonesia, Vivaldi Emri Nobel turut mengajak masyarakat terutama kelompok milenial dan generasi Z mengawal isu ekologis dalam pemilihan gubernur, bupati dan wali kota nanti. Dua generasi itu akan mendominasi pemberian hak suara dalam Pilkada serentak yang tinggal beberapa bulan lagi.

Vivaldi, menegaskan bahwa relasi ekonomi-lingkungan akan terus jadi kritik mahasiswa. Bila ia melahirkan benturan masyarakat dengan aparat. Apa lagi, kelompok yang akan berbenturan dalam pengelolaan sumber daya alam jadi bertambah. Yakni, Ormas keagamaan dengan kebijakan terbaru pemerintah beri pengelolaan tambang.*Redaksi

Maton house blok D nomor 7 Jl Bakti VI, Kelurahan Tengkerang Barat
Phone: 082269559867
Copyright @2024. Green Radio Line